Aceh dan Kekuatan Kemanusiaan

September 15, 2017


Cuplikan berita yang disiarkan salah satu stasiun televisi mengenai kehidupan para pengungsi Rohingya di Aceh awal Oktober lalu membuat saya terharu. Lebih lima bulan di lokasi penampungan wajah para pengungsi tak lagi muram. Anak-anak dengan riang bermain dan belajar. Sedangkan para orang tua terlihat aktif dengan berbagai pelatihan keterampilan dan pertanian.


Yang membuat saya lebih haru ketika siaran itu menyorot aktivitas para relawan di sana. Di dapur umum, di ruang belajar, di taman bermain, dan di tempat pelatihan keterampilan mereka ada. Berminggu-minggu berada di lokasi penampungan tak membuat mereka lelah dan menyerah.

Baca juga : Sail Sabang 

Para relawan itu tak hanya berlatar belakang aktivis atau orang yang terafiliasi dengan salah satu lembaga kemanusiaan. Masyarakat sekitar pun secara sukarela juga banyak terlibat. Sejumlah ibu-ibu warga Aceh melibatkan diri di dapur umum, sedangkan para mahasiswa bergabung menjadi guru atau pendamping untuk anak-anak.

Salah seorang warga mengatakan mereka terpanggil untuk menolong para pengungsi. Bukan sekadar karena seagama, pengungsi Rohingya menurut mereka wajib ditolong demi kemanusiaan.  "Mereka semua saudara kita. Hidup kami sudah susah tapi mereka jauh lebih susah," ujar salah seorang warga seperti dikutip dari situs Antaranews.com, 4 Juni.

Kemanusiaan. Panggilan hati inilah yang awalnya membuat nelayan Aceh bahu-membahu menyelamatkan ratusan pengungsi Rohingya yang terkatung-katung di laut. Pada saat ditemukan kondisi para pengungsi sangat memprihatinkan; kurus, kelaparan, dan ada pula yang dalam keadaan sakit. Menurut data kementerian Luar Negeri lebih dari seribu migran dari Myanmar ini yang ditampung di beberapa lokasi di Aceh.

Rasa kemanusiaan yang ditunjukkan nelayan dan masyarakat Aceh ini lalu menyebar ke seantero negeri. Membuka mata berbagai kalangan untuk turut membantu. Rasa kemanusian telah menjalar dan menembus sanubari banyak orang. Melintasi jarak dan perbedaan. Atas nama kemanusiaan, perbedaan etnis, agama, adat istiadat, strata sosial dan tingkat pendidikan tak lagi jadi soal.

Dari dalam negeri, puluhan lembaga sosial dan kemanusiaan berbondong menghantar bantuan. Ada Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Indonesia. Beragam yayasan, lembaga donor dan aksi cepat tanggap swadaya tak ketinggalan pula. Sokongan dari perorangan pun mengalir lewat rekening kemanusiaan yang dibuka berbagai lembaga.

Bantuan dari lembaga internasional juga turut mengalir. Salah satunya dari Komite Palang Merah Internasional (ICRC). Pada Juni lalu misalnya, ICRC memfasilitasi para pengungsi untuk menghubungi keluarga mereka di Myanmar. Sambungan telepon yag diprioritaskan untuk anak-anak ini telah mempertemukan ratusan pengungsi Rohingya dengan keluarga mereka.

Nilai Universal 



Bukan kali ini saja Aceh menjadi saksi akan dahsyatnya kekuatan kemanusiaan itu. Ketika sebagian kawasan Aceh dihantam tsunami besar pada Desember 2004, bantuan pun datang dari berbagai penjuru. Tua-muda, besar kecil, orang-orang berhambur menyerahkan bantuan. Dukungan terus mengalir selama masa pencarian korban hingga masa pemulihan yang membutuhkan waktu beberapa tahun.

Aceh tentu saja bukan satu-satunya tempat di Indonesia yang menjadi "ladang" bertumbuhnya rasa kemanusiaan itu. Hampir di setiap pelosok negeri, selalu ada orang yang dengan sukarela membantu sesama. Apalagi dalam keadaan musibah atau bencana. Banyak yang membantu secara mandiri, dan banyak pula yang tergabung dengan organisasi dan lembaga kemanusiaan.

Sekarang makin banyak saja lembaga kemanusiaan yang berdiri. Ada yang berlatar belakang agama, etnis, ataupun pendidikan. Namun, meski berbeda mereka selalu kompak dalam melaksanakan misi kemanusiaan. Toh prinsip kemanusian itu merupakan salah satu nilai universal yang dipercaya semua agama dan keyakinan bukan?

Kehadiran berbagai lembaga kemanusiaan ini juga telah memancing semakin banyak orang untuk peduli dan bergabung. Ada yang memberi donasi, dan banyak pula yang terlibat aktif sebagai relawan. Manfaatnya pun sudah dirasakan banyak orang.

Ketika Gunung Merapi di Yogyakarta dan Jawa Tengah meletus, banjir bandang di Manado, longsor di Banjarnegara, gempa bumi di Sumatera Barat, dan sejumlah bencana alam lainnya terjadi, puluhan lembaga kemanusiaan turut membantu. Para relawan dari masing-masing organisasi sering menjadi garda terdepan dalam memberi pertolongan. Mereka tak kalah sigap dibanding relawan dari Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Indonesia.

Nilai-nilai kemanusiaan ini tentu saja mengingatkan kita semua, termasuk saya, untuk terus berbagi. Meningkatkan solidaritas dan persaudaraan dengan sesama. Tak hanya untuk anak negeri, semangat kemanusian harus terus dibawa ke manapun kita pergi. Semangat yang telah mempersatukan banyak orang dari berbagai penjuru dunia. Kita harus selalu menegakkan nilai kemanusiaan dalam berbagai keadaan, baik perang maupun damai.

Bagaimana dengan ICRC? Sebagai salah satu organisasi kemanusian dunia yang netral, tentu saja Komite ini turut berperan dalam sejumlah misi kemanusiaan. Tak hanya membantu korban bencana, ICRC juga terlibat dalam sejumlah misi kemanusiaan di daerah konflik.

Intervensi pertama Komite Internasional Palang Merah di Indonesia dimulai pada 1940 sebelum Indonesia menyatakan kemerdekaan. Secara resmi komite hadir di Jakarta pada 1979. Sejak saat itu ICRC, atas nama misi kemanusiaan, telah mengembangkan lingkup kegiatan yang lebih luas. Di antaranya menjadi penengah netral pada saat terjadi penyanderaan di Papua, terlibat dalam upaya pembebasan 151 sandera oleh gerakan separatis Aceh.

Dan kini,  tentu saja peran lembaga ini masih ditunggu banyak orang. Komitmen untuk terus melaksanakan dan mengawal konvensi Jenewa dan Statuta gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Internasional akan menjadi kunci bagi ICRC dalam menjalankan berbagai misi kemanusiaan.***

You Might Also Like

1 comments

  1. Dengan kemanusiaan itu lah kita bisa bersatu saling menolong dalam kebaikan. :)

    BalasHapus